Front Line

Selasa, 16 Maret 2010

D.I.Y dan Polemik ala Koboi


Sejauh dan sedekat mata memandang, symbol tiga huruf (D.I.Y) merupakan momok pembatas. Kemunculannya pun memanipulasi sisi arogan dari sekelompok orang atau golongan. Tak ayal, D.I.Y (sebenarnya saya tidak suka dengan akronim ini, saya lebih suka menyebutnya dengan mandiri) meletupkan api-api friksi dalam atau antar ‘tongkrongan’ di ibukota dan juga di seantero Nusantara. Hmm, menarik bukan?

Oke, kita tengok apa saja indikatornya. Pertama, mungkin kawan-kawan sepakat bahwa filosofi kemandirian ala Barat ini terlalu dipaksakan. Ada yang terima ada yang tidak. “Kalau Anda mengaku sebagai komunitas underground, Anda harus D.I.Y dalam berkarya maupun gaya hidup. Anda harus menolak apapun bentuk infiltrasi dunia mainstream,” seperti itu kurang lebih.

Fenomena ini umumnya bereskalasi tinggi pada civitas musik punk dan hardcore. Apalagi kalau bukan mempertanyakan apakah Anda sebagai musisi main di acara bersokong atau bercampurtangan berikut ide yang diusung oleh civitas mainstream? Ditambah pula dengan berbagai regulasi melarang keras keberadaan jargon, symbol, logo dan atau memakan dana yang secara notabena digelontorkan oleh ‘industri besar’ kaki tangan kapitalisme.

Kedua, yang biasa disebut kontra populis. Yups, ini juga menjadi indicator mamanasnya eskalasi polemic dan perang urat syaraf. Siapa pun yang menyiarkan diri, duo, band atau komunitas ke media adalah pengkhianat. Tendesi dari kontra populis adalah menafikan segala wahana pemberitaan yang bersifat populis dan di konsumsi oleh orang-orang yang dianggap oleh mereka ‘di luar komunitas’.

Ketiga, meminimalisir ekploitasi komunitas. Dalam artian, tidak berusaha mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari apapun yang dihasilkan. Pangkal kemandirian memaktubkan pula kebersamaan yang berazas pada, setiap invidu berhak menikmati dan mengakses apapun yang dihasilkan oleh komunitas musik berstampel mandiri.

Ketiga indicator di atas meruipakan anti thesis dari generalitas yang sangat asimilatif dengan kapitalisme. Ketiganya merupakan dobrakan baru untuk mengatasi gap dan kesenjangan. Ketiganya digadang-gadang sebagai solusi atas stagnasi musik tanah air yang perihalnya diketahui ‘terjajah’. Sayang, ketiganya dipaksakan dan diadopsi secara represif. Tak ada kata menolak bahkan mencari benang merah. Padahal, ketiganya hanyalah thesis yang hingga kini masih belum bisa menggantikan kedigdayaan kapitalisme dalam dunia musik.

Ya, pada akhirnya kapitalisme manjadi kampiun dalam pergerakan musik underground. Musik dan apa-apa yang dihasilkan menjadi komoditi dan hajat hidup orang banyak. Kemandirian berubah menjadi ajang cari uang. Niscaya! Bahwa apa saja yang dibuat mengikuti arah mata uang. Pada akhirnya, ketiga indicator tersebut berubah menjadi jalan baru bagi kapitalisme bentuk baru. Tak ada yang bertahan. Tak ada pula yang mau menjadikan kemandirian sebagai kontrribusi dan wujud kreatifitas untuk seluruh umat manusia. Hingga sampailah perjalanan D.I.Y layaknya hidup seorang koboi. Tak ada peluru tanpa imbalan. Inilah era D.I.Y ala koboi.

NB : Diskusikan posting ini di tongkrongan Anda. Mudah-mudahan bermanfaat...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar